- KENAIKAN YESUS YANG BERMAKNA DAN BERDAMPAK
- Wa qoma min al-amwat fi al-yaum ats-tsalits kama fi al-kutub
- PARADOKS SALIB KRISTUS
- AKU MENGATAKAN KEBENARAN DENGAN PIKIRAN YANG SEHAT
- Hal Ta\'rif al-Masih
- NARASI INJIL TENTANG KEMANUSIAAN YESUS
- ALLAH, BUNDA MARIA DAN YESUS: TRINITAS PALSU!!!
- Angel Temen Tuturanmu!!!
- Christ The Lawgiver
- SEKILAS AJARAN KESELAMATAN DALAM IMAN KRISTEN
Angel Temen Tuturanmu!!!
Artikel Terkait
Artikel Populer
- Spiritual Warfare
- En arche
- Selamat Merayakan Nuzul Kalimat Allah
- Apa Saja Pokok Ajaran Kristen?
- Almasih: Al-Quddus wa al-Barr
- Pancasila Dalam Sorotan Kitab Suci
- Dari Perayaan Paskah (Chag Ha Pesakh) sampai Perayaan Roti tak Beragi (Chag Ha Matsot)
- Almasih El Nose (Forgiving God)
- The Sonship of Jesus Christ
- Jesus The Word of God: Tanggapan Atas Tuduhan Sanihu Munir tentang Logos Neo Platonisme-Philo da
Angel Temen Tuturanmu!
(Bag 1)
By: Leonardo Winarto
Judul sebuah lagu yang akhir-akhir ini begitu populer tersebut nampaknya cocok untuk mereka yang mengaku Kristen, tetapi menolak dan anti dengan istilah Trinitas. Menurut mereka, “… tidak ada istilah Trinitas dalam Alkitab, karena itu jangan menambahi apa yang tidak ada dalam Alkitab! Pernyataan tersebut jelas menunjukkan keawaman, kalau tidak mau disebut kebodohan dalam berteologi, serta ragam kajian ilmiahnya yang memang sangat luas dan dalam. Jadi memang sangat lucu dan bodoh bagi saya, kalau ada orang yang menolak sebuah istilah teologis tertentu dalam kekristenan hanya karena istilah tersebut tidak dijumpai dalam Kitab Suci!
Padahal dalam kekristenan, ada banyak istilah teologis lainnya yang juga tidak tertulis secara letterlijk dalam Alkitab. Namun demikian, istilah-istilah tersebut tetap dipakai sampai hari ini. Sebab yang prinsip adalah konsep, ide dan makna yang melatarbelakangi istilah itu sendiri. Prinsip ini bukan hanya bisa ditemukan dalam kekristenan, tetapi juga dalam agama-agama lain. Seperti misalnya istilah : Ilmu Kalam, atau ungkapan dalam teologi Islam: ash-shifat laisat al-Dzat, wa la hiya ghayruha (الصفات ليست الذات و لا هي غيرها), yang dirumuskan oleh teolog Islam untuk menunjukkan pembedaan antara Dzat Allah dan sifatNya, tetapi pada saat yang sama hendak ditegaskan bahwa sifat Allah tersebut tidak terpisahkan dari Dzat Allah sebab sifat merupakan bagian instrinsik dari Dzat.[1] Para teolog Islam tersebut tentu tidak sembarangan saja membuat perumusan atau istilah tanpa memiliki landasan teologisnya dari Al-Qur’an.
Karena itu tidak ada yang salah dengan pembuatan dan penggunaan sebuah istilah ( اصطلاح) sepanjang sesuai dengan ide atau pemikiran yang dimaksudkan. Karena tentunya sebuah istilah dalam disiplin keilmuan apapun tidak sembarangan dibuat. Bukan hanya dalam ilmu agama, tetapi juga dalam ilmu alam, hukum, kedokteran, teknik, pertanian, semuanya memiliki banyak istilah khusus berupa kata atau frase, yang salah satu tujuannya sebagai sarana interaksi dalam lingkup komunitas tersebut, secara khusus dalam konteks akademis. Namun perbedaannya dalam ilmu agama, istilah-istilah teologis itu juga berfungsi sebagai kredo atau pengakuan iman yang berdampak dalam kehidupan spiritual pengikutnya.
Lalu dalam kaitannya dengan istilah Trinitas dalam iman Kristen. Seharusnya kaum penolak Trinitas itu mempelajari dengan baik ide atau ajaran dibalik istilah tersebut. Jangan kemudian langsung membabi buta menolak hanya karena tidak ada dalam Alkitab. Terlebih-lebih mempertentangkannya dengan keesaan Allah. Seolah-olah ajaran dan keyakinan iman Kristen akan ketritunggalan Allah bertolak belakang dengan monoteisme/ketauhidan. Lebih ngawur lagi, mereka tanpa sadar malah menggaungkan kembali ajaran ajaran sesat yang pernah ditolak gereja di masa lampau, yakni Modalisme, Unitarian dan Politeisme.
Itulah sebabnya penting sekali belajar teologi dengan benar dan dari sumber yang benar. Dalam teologi ada aspek iman, tetapi juga aspek keilmuan. Sebagai ilmu, teologi harus dikaji dengan metodologi yang benar sehingga hasil akhirnya sesuai dengan yang dimaksudkan, yakni pengenalan akan Allah benar yang akan merubah hidup seseorang sesuai dengan kehendak Allah. Namun yang sering terjadi, ayat-ayat Alkitab dikutip sekenanya yang sesuai dengan pemikirannya sendiri (eisegeses). Memang dengan kecanggihan teknologi informasi yang begitu maju pesat ini kita sangat diuntungkan dengan begitu melimpahnya informasi. Tetapi kalau tidak kritis menyaring dan menguji, maka informasi sampah itu juga ikut masuk dan meracuni pikiran. Akibatnya tanpa disadari justru menjadi sesat dan menolak orthodoksi yang telah diajarkan oleh Kristus, diteruskan oleh rasul-rasulNya dan telah dipelihara oleh gerejaNya selama sekitar dua ribu tahun ini.
Trinitas itu Tauhid!
Selain karena tidak ditemukan istilahnya dalam Alkitab, ajaran Trinitas ditolak karena dianggap sama dengan triteisme. Penyamaan ini jelas menunjukkan ketidakpahaman mereka terhadap ajaran Trinitas dalam iman Kristen. Trinitas bukan dan berbeda dengan tritheisme. Triteisme adalah keyakinan pada tiga ilah yang berbeda dan terpisah satu sama lain yang berarti politeisme.
Menurut KBBI, politeisme adalah: “kepercayaan atau pemujaan kepada lebih dari satu Tuhan; kepercayaan kepada banyak Tuhan. Sedangkan Trinitas adalah kepercayaan pada Allah yang Esa seperti yang dinyatakan dalam Kitab Suci, yakni Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Sebuah pengertian yang sangat bertolak belakang dengan anggapan mereka tentang Trinitas.
Sebelum berbicara lebih jauh tentang ajaran ketritunggalan ilahi, mula-mula harus dipahami lebih dulu bahwa asas ketuhanan iman Kristen adalah monoteisme/tauhid. Fakta ini ditegaskan dalam banyak ayat Kitab Suci (Ul 6:4; Kel 20:3; Mark 12:29; 1 Kor 8:4; Yak 2:19 dll). Berdasarkan fakta diatas, seharusnya kita tidak lagi mempertentangkan antara Tauhid dan Trinitas. Mempertentangkan keduanya, maka sama saja anda menempatkan Trinitas pada posisi triteisme atau politeisme. Tauhid adalah Bahasa arab untuk monoteisme. Dan Trinitas adalah keyakinan pada Allah yang Esa itu sendiri.
Hal ini bisa dilihat pada tulisan-tulisan teolog Kristen berbahasa Arab. Istilah Tauhid, ahad, wahid, wahdaniyyah, yang secara esensi memiliki makna yang sama yakni esa, keesaan atau menggesakan Allah, banyak sekali digunakan ketika menjelaskan doktrin Allah dalam Kristen. Misalnya dalam buku berjudul Qanun al-Iman, karya Pope Shenouda III, hal 12 dikatakan: و العهد جديد يتحدث أيضاً عن التوحيد (wa al-ahd jadid yatahaddatsu aidhon ‘an at-tauhid).[2] Artinya: “Perjanjian Baru juga berbicara tentang tauhid/monoteisme”. Dalam buku lainnya karya: Malak Luqa yang berjudul: Azaliyat ats-Tsaluts al-Aqdas wa wahdaniyatih, tertulis pada halaman 12: لا ثلاثة آلهة بل إله واحد (la tsalatsat alihat bal ilahun wahid).[3] Artinya: Tidak ada tiga ilah, tetapi satu Allah. Satu contoh lagi dalam tulisan Abd al-Masih Ibn Ishaq al-Kindi yang berjudul :Risalah, ia menjelaskan tentang keesaan dan ketritunggalan ilahi pada sahabat muslimnya Abd Allah Ibn Ismail: ان الله واحد ذو كلمة و روح , واحد ذو ثلاث أقانيم (Innal-laha wahid dzu Kalimat wa Ruh, Wahid dzu tsalatsat aqonim). Artinya: Allah itu Esa dengan Firman dan RuhNya, Esa dengan tiga uqnum.
Jadi memang sangat menggelikan apabila ada seorang Kristen menulis buku atau membuat seminar dengan judul: Tauhid atau Trinitas. Atau misalnya, Trinitas Vs Tauhid. Padahal akidah ketritunggalan Allah adalah keyakinan pada ketauhidan itu sendiri, seperti yang bisa dilihat pada beberapa contoh kutipan buku diatas. Jadi berhentilah mempertentangkan ketauhidan dengan ketritunggalan. Sebab sudah jelas berdasarkan data biblical yang ada, asas ketuhanan iman Kristen adalah monoteisme alias tauhid.
Lalu mengenai ajaran ketritunggalan yang ditolak oleh beberapa kelompok yang mengaku Kristen seperti Unitarian, Saksi Yehuwah atau mereka yang berpaham Modalisme/Sabelian, benarkah tidak ada ajaran tersebut dari Kitab Suci? Atau sebaliknya, mereka mengingkari kebenaran teologis dalam Kitab Suci hanya karena mereka belum memahaminya?
Untuk menjawabnya, tentu harus dimengerti dulu makna yang terkandung dalam istilah Tritunggal (الثالوث). Jangan sampai istilah itu dipahami dan disamakan dengan triteisme atau keyakinan pada tiga ilah (ثلاثة آلهة). Trinitas tentu sangat jauh berbeda dengan triteisme. Trinitas sama sekali tidak ada kait mengait dengan eksistensi ilah yang lain selain Allah yang Esa itu sendiri. Sebab sudah ditegaskan diatas, asas ketuhanan iman Kristen adalah monoteisme. Dengan demikian, tidak ada tempat bagi eksistensi ilah lain (Kel 20:3; Ul 6:4).
Trinitas adalah keyakinan pada Allah Yang Esa dalam tiga hypostasis/shifatu dzatiyah fillah (صفات ذاتية في الله)/uqnum. Dalam bahasa Arab, Trinitas ini diungkapkan dalam kalimat berikut:
فالله واحد في جوهره و ذاته. ولكن يوجد في هذا الجوهر الواحد ثلاثة اقانيم
“Fa Allah wahid fi jauharihi wa dzatihi. Wa lakin yujad fi hadza al-jauhar al-wahid tsalatsat aqonim”[4]
Artinya:
“Allah itu Esa baik dalam hakekat maupun wujud/eksistensi diriNya. Namun dalam hakekatNya yang Esa ia memiliki tiga uqnum/hipostasis”
Atau yang lainnya:
أن الله واحد بالجوهر مثلث بالأقانيم الآبوالابن والروح قدس
“Annal-laha wahid bi al-jauhar mutsallats bi al-aqonim, al-Ab wa al-Ibn wa ar Ruh al-Qudus”[5]
Artinya:
“Allah itu Esa dalam hakekatNya, tiga dalam uqnum/hypostasis yakni Bapa, Putra dan Ruh Kudus”
Jadi sudah jelas bahwa Trinitas sama sekali tidak ada kaitannya dengan eksistensi ilah lain selain Allah yang Esa itu sendiri. Yang hendak disampaikan dalam istilah tersebut adalah kekayaan dan kedalaman diri Allah baik dalam hakekat/jauhar maupun karya-karyaNya. Dia Esa baik dalam wujudNya maupun substansiNya, tetapi dalam hakekatNya yang Esa itu memiliki tiga uqnum/hypostasis, yakni Bapa, Putra dan Ruh Kudus.
Apa itu Hypostasis Ilahi? Hypostasis atau shifat Dzat dalam bahasa Arab adalah realitas atau eksistensi yang konkrit dalam diri Allah. Sesuatu yang harus ada dalam wujud Allah yang Esa. Namun, meminjam istilah Prof Eka Putra Wirman, sifat Allah adalah sesuatu yang tidak eksis secara wujud fisik (ghair maujud fi al-kharij).[6] Jadi memang karena Allah itu Roh, Ia tidak memiliki eksistensi materi, maka sifat atau hipostasisNya juga bukan eksitensi materi dalam DzatNya.
Sebab itu istilah Allah yang Esa dalam tiga Pribadi/Uqnum, harus dipahami secara tepat maknanya. Jangan sampai istilah “Pribadi” atau Uqnum dimaknai seperti pribadi-pribadi manusia yang memiliki wujud fisik dan terpisah satu sama lain! Hypostasis bisa dimaknai “pribadi” karena memang Allah kita berpribadi (Personal God).
Namun jangan lupa, hypostasis sebagai realitas atau eksistensi yang konkrit dalam diri Allah itu tidak berdiri sendiri di luar wujud/Dzat Allah. Sebaliknya, justru karena hypostasis/shifat Allah itu eksis dalam wujud Allah (shifatu dzatiyyah fillah), maka ketauhidan itu tetap dipertahankan.
Adapun sebutan hypostasis/shifat Dzat Putra itu menunjuk pada Logos/Kalimatullah yang bereksistensi dalam Dzat Allah (Yoh 1:1; 8:42). Jadi memang sebutan itu sama sekali tidak bermakna jasmani atau biologis. Relasi Bapa-Putra dalam kekristenan adalah Relasi Dzat dan Shifat, antara Allah dan Kalimat/FirmanNya. Allah tidak mungkin eksis tanpa LogosNya, demikian juga Logos/Kalimatullah tidak mungkin eksis tanpa Allah Sang Bapa.
Sedangkan Ruh Kudus menunjuk pada shifat Maha Hidup Ilahi yang eksis dalam Dzat/Wujud Allah. Ia Maha Hidup dan memiliki kehidupan dalam diriNya. Itulah Ruh Kudus dalam iman Kristen yang bersumber dari Allah Sang Bapa (Yoh 15:26).
Inilah penjelasan tiga hypostasis yang dimaksud. Dimanakah unsur triteismenya? Tritunggal tidak menyebut-nyebut ilah lain seperti misalnya YHWH, Ba’al atau Osiris. Sama sekali tidak! Tetapi seperti yang sudah dijelaskan diatas, ketritunggalan hanya menjelaskan kekayaan diri Allah baik dalam hakekat maupun karyaNya dalam sejarah penciptaan dan keselamatan.
و الثالوث القدوس لا يعنى تعدد الآلهة . ووانما يعنى فهم التفاصيل في الذات الالهية الواحد
“… wa ats-tsaluts al-quddus la ya’ni ta’addud al-alihah. Wa innama fahum at-tafashil fi adz-dzat al-ilahiyyat al-wahid”[7]
Artinya:
“Tritunggal Mahakudus bukanlah politeisme. Namun tiga hypostasis yang dimaksud hanya menjelaskan pembedaan/distingsi dalam Wujud Allah yang Esa itu sendiri”.
Bersambung
[1] Istilah shifat dalam teologi Islam paralel dengan istilah Hypostasis dalam teologi Kristen. Harus diketahui pula, istilah shifat ini juga sudah digunakan oleh teolog Kristen berbahasa Arab ketika Ilmu Kalam Islam masih dalam masa perkembangannya yang awal. Lihat tulisan Abd Almasih al-Kindi, yang sudah menggunakan istilah shifat dan dzat.
[2] Pope Shenouda III, Qanun al-Iman (Cairo: Maktabah al-Mahabbah,2003)
[3] Malak Luqa, Azaliyat ats-tsaluts al-aqdas wa wahdaniyatih (Cairo: Maktabah al-Mahabbah, 1990), hal 12
[4] Al-Anba Yuanis, ‘Aqidat al-Masihiyyin fi Al-Masih (Cairo: Mathraniyyat al-Aqbath al-Urthuduks bi al-Ghurubiyyat, 1980), hal 172
[5] ‘Abd almasih Tsaufilus, Qanun al-Iman: Syarh wa Tafsir (Cairo: 2007), hal 21
[6] Eka Putra Wirman, Restorasi Teologi: Meluruskan Pemikiran Harus Nasution (Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2013), hal 62
[7] Pope Shenouda III, Op.Cit., hal 13
Jesusprophet
Kredo 1:Mereka=subjek,mengenal=predikat,Engkau satu satunya Allah yang benar=objek+keterangan ...
View ArticleDenis
???? ????? Yeshua haMashiach Yeshua sang Mesias ?? ????? Ben Elohim Putra Elohim ?? ...
View ArticleSony
shalom..Mohon berkenan kami dikirimi artikel via email kami, Trimakasih Tuhan ...
View Article