- KENAIKAN YESUS YANG BERMAKNA DAN BERDAMPAK
- Wa qoma min al-amwat fi al-yaum ats-tsalits kama fi al-kutub
- PARADOKS SALIB KRISTUS
- AKU MENGATAKAN KEBENARAN DENGAN PIKIRAN YANG SEHAT
- Hal Ta\'rif al-Masih
- NARASI INJIL TENTANG KEMANUSIAAN YESUS
- ALLAH, BUNDA MARIA DAN YESUS: TRINITAS PALSU!!!
- Angel Temen Tuturanmu!!!
- Christ The Lawgiver
- SEKILAS AJARAN KESELAMATAN DALAM IMAN KRISTEN
Sentralitas Ibrahim dalam Mewujudkan Relasi Damai Kristen dan Islam
Artikel Terkait
Artikel Populer
- Spiritual Warfare
- En arche
- Selamat Merayakan Nuzul Kalimat Allah
- Apa Saja Pokok Ajaran Kristen?
- Almasih: Al-Quddus wa al-Barr
- Pancasila Dalam Sorotan Kitab Suci
- Dari Perayaan Paskah (Chag Ha Pesakh) sampai Perayaan Roti tak Beragi (Chag Ha Matsot)
- Almasih El Nose (Forgiving God)
- The Sonship of Jesus Christ
- Jesus The Word of God: Tanggapan Atas Tuduhan Sanihu Munir tentang Logos Neo Platonisme-Philo da
Sentralitas Ibrahim dalam Mewujudkan Relasi Damai Kristen dan Islam
Ketiga agama semitik: Yahudi, Kristen dan Islam, secara bersama-sama memproklamirkan relasi istimewanya dengan Ibrahim.[1] Orang-orang Yahudi menyebut Ibraham sebagai nenek moyangnya (Ul 6:10; Yos 24:2-3; Maz 105:6; Yoh 8:39-Abinu hu Avraham-). Sedangkan dalam lingkup Kristen, pada permulaan Injil Matius 1:1 dinyatakan bahwa Yesus Kristus: Ben Dawid Ben Avraham (Anak Daud, Anak Ibrahim). Dan dinyatakan lebih jauh dalam Perjanjian Baru (Arab: Al-‘Ahd al-Jadid), bahwa mereka yang percaya pada ke-Almasih-an Yesus telah dihisab secara spiritual menjadi keturunan Ibrahim (Gal 3:29). Kemudian dalam tradisi Islam sendiri, Ibrahim disebut sebagai Bapa Para Nabi (Abu al-Anbiya). Ia juga disebut sebagai seorang hanif yang muslim (Hanifan Muslima, Qs.Ali Imran 3: 67).[2]
Sangat nyatalah kehidupan Ibrahim dan perjalanan imannya telah menjadi model keimanan yang ideal bagi penganut tiga agama semitik diatas. Di dalam masing-masing kitab yang dipercayai oleh ketiga komunitas iman ini telah dinyatakan dengan jelas keteladanan Ibrahim. Misalnya dalam Kitab Sefer Bereshit/Kejadian 26:5, dituliskan firman Allah tentang keteladanan Abraham:
עקב אשׁר־שׁמע אברהם בקלי וישׁמר משׁמרתי מצותי חקותי ותורתי
“Eqev asyer syama’ Abraham beqoli way-yismor mismarti mitsotay khuqqotay wa torotay”
Artinya:
“karena Abraham telah mendengarkan firman-Ku dan memelihara kewajibannya kepada-Ku, yaitu segala perintah, ketetapan dan hukum-Ku."
Dalam Kitab Taurat diatas, Ibrahim ditampilkan sebagai insan yang selalu taat dan setia melakukan segala kewajibannya selaku abdi Allah. Dan teladan ketaatan Ibrahim ini terus ditampilkan dalam generasi umat Allah yang selanjutnya. Pada jaman pelayanan Yesus Kristus dan para hawariy, keteladanan Ibrahim juga tetap dijadikan contoh kehidupan ideal umat Allah.[3]
Roma 4:12
“καὶ πατέρα περιτομῆς τοῖς οὐκ ἐκ περιτομῆς μόνον, ἀλλὰ καὶ τοῖς στοιχοῦσι τοῖς ἴχνεσιν τῆς ἐν τῇ ἀκροβυστίᾳ πίστεως τοῦ πατρὸς ἡμῶν Ἀβραάμ.
“Kai Patera peritomes tois ouk ek peritomes monon, alla kai tois stoichousin tois ichnesin tes en te akrobustia pisteos tou patros hemon Abraham”
Artinya:
“dan juga menjadi bapa orang-orang bersunat, yaitu mereka yang bukan hanya bersunat, tetapi juga mengikuti jejak iman Abraham, bapa leluhur kita, pada masa ia belum disunat.”
Sangat jelas melalui ayat diatas, umat Kristen diminta untuk mengikuti jejak iman Ibrahim (kai tois stoichousin tois ichnesin tes en te akrobustia pisteos tou patros hemon Abraham). Iman Ibrahim pada janji Allah untuk memberikan keturunan dijadikan pelajaran bagi kaum beriman pada masa kini. Maksudnya agar orang beriman di masa kini memiliki iman yang sama seperti Ibrahim terhadap janji Allah. Meskipun yang sedang dihadapi adalah kemustahilan, tetapi bila Allah sudah berkehendak dan berfirman, maka tidak ada sesuatu apapun yang mustahil bagi Dia.
Demikian pula di dalam Al-Qur’an, Ibrahim disebut sebagai teladan yang baik (uswatun hasanah). Dalam Q.s Al-Mumtahanah 60 ayat 4 dituliskan sebagai berikut:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ ۖ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
“Qad kanat lakum uswatun hasanatun fi Ibrahima wal-ladzina ma’ahu; idz qalu li qaumihim inna bura-a-u minkum wa mimma ta’buduna min dunillahi kafarna bikum wa bada bainana wa bainakumul ‘adawatu wal baghdha-u abadan hatta tu’minu bil-lahi wahdahu illa qaula Ibrahima li Abihi la-astaghfiran-na laka wa ma amliku laka minal-lahi min syai’, Rabbana ‘alaika tawakkalna wa ‘alaika anabna wa ilaikal mashir”
Artinya:
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya : “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah”. (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.
Berdasarkan kutipan ayat-ayat diatas yang diyakini sebagai firman Allah oleh ketiga komunitas iman: Yahudi, Kristen dan Islam, maka sudah sewajarnya bila kita ingin mengusahakan relasi damai antara Kristen dan Islam, secara khusus bila dilihat dari persepektif Kristen berdasarkan Kitab Perjanjian Lama/Tanakh, sosok Ibrahim bisa menjadi titik tolak dalam dialog teologis maupun dialog karya dan kehidupan antara keduanya.
Sampai saat ini, dialog masih tetap diyakini mampu menjadi salah satu cara untuk mewujudkan relasi damai antar umat beragama. Apalagi dalam konteks perjumpaan Kristen dan Islam, seperti yang sudah dijelaskan diatas, yang memang memiliki akar teologis dan historis yang dekat satu sama lain. Karena itu, dialog teologis ataupun dialog karya dan kehidupan perlu terus menerus diusahakan dan dikembangkan antara keduanya.
Namun dalam hal ini, dialog teologis haruslah menjadi landasan utama atas dialog-dialog yang lain. Sebab hanya dengan pemahaman teologi yang baik dan benar, maka relasi damai yang terwujud dalam dialog karya dan dialog kehidupan dapat terwujud dengan baik sesuai yang kita harapkan bersama.
Selanjutnya dalam artikel ini, bertolak dari kehidupan Ibrahim yang kemudian syari’atnya diwujudkan lebih konkrit melalui Taurat, akan dibahas lebih jauh hal-hal teologis dan praksis yang menjadi tema bersama diantara Kristen dan Islam.
Monotheisme Ibrahim
Ketika bangsa Israel sudah memasuki Tanah Kanaan melalui pimpinan Yosua bin Nun (يشوع بن نون), abdi Musa itu, ia berpesan kepada suku-suku Israel sebelum mereka menempati tanah yang diundikan bagi tiap-tiap suku mereka di Tanah Kanaan.[4]
Yosua 24:2-3
“Berkatalah Yosua kepada seluruh bangsa itu: "Beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Dahulu kala di seberang sungai Efrat, di situlah diam nenek moyangmu, yakni Terah, ayah Abraham dan ayah Nahor, dan mereka beribadah kepada allah lain.
Tetapi Aku mengambil Abraham, bapamu itu, dari seberang sungai Efrat, dan menyuruh dia menjelajahi seluruh tanah Kanaan. Aku membuat banyak keturunannya dan memberikan Ishak kepadanya. “
Bacaan Alkitab diatas memberikan informasi mengenai latar belakang keluarga Ibrahim yang menyembah ilah-ilah lain (way-ya’abdu elohim akherim). Dalam sumber Yahudi non kanonikal, maksudnya tidak berasal dari Kitab Taurat, tetapi semacam kisah normatif yang memang tidak memiliki keabsahan historis, yakni Bereshit Rabbah(בראשית רבה), dikisahkan Ibrahim yang masih muda telah menghancurkan patung-patung berhala yang dibuat Terah, ayah Ibrahim.[5] Ia melakukan itu dengan tujuan memberikan pelajaran sekaligus peringatan kepada kaumnya untuk beralih dari politheisme kepada monotheisme (Tauhid), setelah sebelumnya Ibrahim menerima pewahyuan tentang keesaan Allah.
Dikisahkan selanjutnya dalam Midrash Rabbah tersebut, keteguhan iman Ibrahim terhadap keesaan Allah bukannya tanpa tantangan. Ia diancam bunuh dengan cara akan dilempar ke dalam api oleh Nimrod. Ancaman Nimrod bukan gertak sambal. Nimrod benar-benar melempar Ibrahim dalam tungku api yang menyala-nyala, tetapi dikisahkan bahwa Allah menyelamatkan Ibrahim dari api.
Kisah normatif tentang monotheisme Ibrahim ini menjadi pelajaran bagi anak cucu Ibrahim dari garis keturunan Ishak, seperti yang terekam dalam Kitab Taurat dan para nabi. Pada masa Musa dan seterusnya, bani Israel terus bergumul menghadapi godaan penyembahan kepada ilah-ilah lain. Terutama ketika mereka sudah memasuki Tanah Palestina, yang memang dihuni oleh suku-suku yang meyakini keberadaan banyak tuhan.
Iman Kristen yang memang keberadaannya sebagai pemenuhan nubuat para nabi tentang kehadiran Mesias (Arab: Almasih), hanya meneruskan apa yang diajarkan dalam kitab Taurat, Zabur dan para nabi, dalam hal ini termasuk soal tauhid.. Misalnya dalam Kitab Ulangan 6: 4, tertulis dengan jelas firman Allah:
שמע ישראל יהוה אלהינו יהוה ׀ אחד
“Syema Yisra’el Adonay(YHWH) Eloheynu, Adonay(YHWH) Ekhad”
Artinya:
“ Dengarlah wahai orang Israel, TUHAN itu ilah kita, TUHAN itu Esa”
Demikian juga terbaca dalam Kitab Keluaran 20:3, menyatakan perintah yang kurang lebih sama untuk diperhatikan oleh umat Allah:
לא יהיה־לך אלהים אחרים על־פני
“Lo yihyeh lekha elohim akherim al-panaya”
Artinya:
“Jangan ada padamu ilah lain dihadapanKu”
Monoteisme Ibrahim ini yang menjadi dasar utama ketuhanan dalam iman Kristen. Dari generasi ke generasi, kekristenan yang sejati, sesuai dengan syahadat bersama umat Kristen di seluruh dunia menyatakan ikrar imannya: Kami percaya pada Allah Yang Esa (نؤمن باله واحد).[6]
Fakta ini dibuktikan dari beberapa ayat dalam Perjanjian Baru yang menyinggung soal keesaan Allah. Namun harus dipahami bahwa tema utama Perjanjian Baru bukanlah tentang keesaan Allah. Sebagai penerus tradisi iman dari Ibrahim, iman Kristen mewarisi monotheisme Kitab Taurat yang tanpa kompromi. Karena itu, seperti yang akan dibuktikan dibawah ini, ajaran keesaan Allah dalam Perjanjian Baru tidak perlu diragukan lagi.
1 Korintus 8:4-6
““4 Tentang hal makan daging persembahan berhala kita tahu: "tidak ada berhala di dunia dan tidak ada Allah lain dari pada Allah yang esa."
5 Sebab sungguhpun ada apa yang disebut "allah", baik di sorga, maupun di bumi dan memang benar ada banyak "allah" dan banyak "tuhan" yang demikian
6 namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup.”
Menariknya dalam Alkitab terjemahan bahasa Arab, ayat tersebut tertulis: و ان لا إله الا الله الاحد. Bila kita transliterasikan dalam huruf latin, kalimat diatas akan terbaca: “wa an lâ ilâha illal-lâh al-ahad”. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah: Tidak ada ilah selain Allah yang Esa.[7] Ungkapan ini dikenal baik dalam Islam sebagai salah satu dari dua kalimat syahadat.
Sehingga dalam hal ini, umat Kristen sebagai pewaris tauhid Ibrahim harus meresponi dengan sukacita seruan Al-Qur’an untuk berdiri diatas kesepakatan bersama (common platform) dalam hal tauhid, seperti yang diserukan dalam Q.s Ali Imran 3:64
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْاْ إِلَى كَلَمَةٍ سَوَاء بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلاَّ نَعْبُدَ إِلاَّ اللّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئاً وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضاً أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُولُواْ اشْهَدُواْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Artinya:
“Katakanlah: ‘Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah’. Jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: ‘Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)’.
Ajaran Tauhid yang diwariskan oleh Ibrahim inilah yang dapat menjadi titik temu teologis dalam relasi Kristen-Islam. Walaupun tentu pada saat yang sama juga harus diakui, ada perbedaan antara keduanya dalam detail pengungkapannya.
Menentang Kesalehan Ritual tanpa Kesalehan Sosial
Dalam bacaan Taurat yang sudah dikutip diatas, yakni dalam bagian Kitab Kejadian 26:5, dinyatakan oleh Tuhan sendiri bahwa Ibrahim telah memelihara kewajibannya kepada Tuhan berupa melakukan segala perintah dan dan hukumNya. Memang dapat kita baca dalam kitab yang sama, Ibrahim senantiasa tidak pernah meninggalkan ibadah vertikalnya (Kej 12:8; 13:4; 21:33).
Tetapi kesalehan Ibrahim tidak berhenti dalam hubungan vertikalnya dengan Tuhan. Ia juga memiliki kesalehan sosial yang berbanding lurus dengan kesalehan ritualnya. Ia memiliki kepedulian yang begitu tinggi terhadap orang lain sebagai dampak dari hubungan vertikalnya dengan Tuhannya. Karakter Ibrahim ini kemudian dinyatakan dalam generasi umat Allah selanjutnya seperti yang dapat kita baca dalam sabda ‘Isa Almasih:
Matius 22:36:40
“Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat? 37 Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. 38 Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. 39 Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. 40 Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi."
Dikatakan diatas bahwa kasih kepada Tuhan (baca: Kesalehan ritual) memiliki nilai yang sama dengan kasih kepada sesama (baca: Kesalahen sosial). Alkitab memandang belum sempurnanya iman seseorang bila ia tidak seimbang dalam hubungan vertikal dan horizontalnya (Yak 2:14). Allah tidak menginginkan kesalehan ritual seseorang mengabaikan atau bahkan menghilangkan kesalehan sosialnya, seperti yang difirmankan Allah pada Nabi Yesaya:
Yesaya 58:1-5
“ Serukanlah kuat-kuat, janganlah tahan-tahan! Nyaringkanlah suaramu bagaikan sangkakala, beritahukanlah kepada umat-Ku pelanggaran mereka dan kepada kaum keturunan Yakub dosa mereka!Memang setiap hari mereka mencari Aku dan suka untuk mengenal segala jalan-Ku. Seperti bangsa yang melakukan yang benar dan yang tidak meninggalkan hukum Allahnya mereka menanyakan Aku tentang hukum-hukum yang benar, mereka suka mendekat menghadap Allah, tanyanya:Mengapa kami berpuasa dan Engkau tidak memperhatikannya juga? Mengapa kami merendahkan diri dan Engkau tidak mengindahkannya juga? Sesungguhnya, pada hari puasamu engkau masih tetap mengurus urusanmu, dan kamu mendesak-desak semua buruhmu.Sesungguhnya, kamu berpuasa sambil berbantah dan berkelahi serta memukul dengan tinju dengan tidak semena-mena. Dengan caramu berpuasa seperti sekarang ini suaramu tidak akan didengar di tempat tinggi.Sungguh-sungguh inikah berpuasa yang Kukehendaki, dan mengadakan hari merendahkan diri, jika engkau menundukkan kepala seperti gelagah dan membentangkan kain karung dan abu sebagai lapik tidur? Sungguh-sungguh itukah yang kausebutkan berpuasa, mengadakan hari yang berkenan pada TUHAN?
Dalam ayat diatas dapat kita baca bahwa Tuhan tidak memungkiri kesalehan ritual bani Israel pada jaman Nabi Yesaya.[8] Mereka berpuasa dan melakukan segala kewajiban agamawi mereka. Namun sayangnya, sikap saleh dalam ibadah vertikal tersebut tidak teraplikasikan dalam relasi sosial dengan sesamanya, seperti yang dapat kita lihat dalam firman Allah dibawah ini:
Yesaya 58:6-10
“Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk,supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih dengan segera; kebenaran menjadi barisan depanmu dan kemuliaan TUHAN barisan belakangmu.Pada waktu itulah engkau akan memanggil dan TUHAN akan menjawab, engkau akan berteriak minta tolong dan Ia akan berkata: Ini Aku! Apabila engkau tidak lagi mengenakan kuk kepada sesamamu dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari dan memfitnah, apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang kauinginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas maka terangmu akan terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari.”
Teguran Allah kepada bani Israel karena mengabaikan kesalehan sosial mereka juga menjadi peringatan bagi kita yang mengaku memiliki relasi spiritual dengan Ibrahim. Bagi Tuhan, hal ini adalah persoalan yang serius. Sebab keimanan seseorang kepadaNya harus nyata dari perbuatan kesehariannya, bagaikan sekeping mata uang yang memiliki dua sisi.
Dalam Islam juga bisa kita temukan seruan yang kurang lebih sama dengan apa yang dinyatakan Alkitab. Misalnya dapat kita baca dalam Q.s Al-Baqarah 2:208
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, masuklahh kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Udkhulu fi as-silmi kaffah! Ungkapan itu sering saya dengar dari ceramah-ceramah agama Islam, baik di TV maupun di masjid dekat rumah saya. Menurut tafsir Ath-Thabari, karya Ibnu Jarir ath-Thabari, ulama Islam asal Persia yang begitu terkenal di dunia Islam, ungkapan tersebut bermakna:
اعملوا أيها المؤمنون بسشرائع الإسلام كلها، وادخلوا في التصديق به قولا و عملا.[9]
Artinya: Hai orang-orang beriman, amalkanlah syari’at Islam dengan menyeluruh, dan masuklah dalam kebenarannya dengan perkataan dan amalan (wa udkhulu fi at-tashdiq bihi qaulan wa ‘amalan).
Bila demikian cara beragama kita, saya yakin konflik antar agama, ketidakadilan sosial, korupsi atau bentuk kejahatan masyarakat lainnya bisa diminalkan. Tentu semua berpulang pada kesadaran masing-masing individu dalam mengamalkan ajaran agamanya masing-masing yang harus ditanamkan sejak dini.
Penutup
Dalam mewujudkan relasi damai antara Kristen dan Islam di Indonesia, secara khusus bila dilihat dari persepektif iman Kristen berdasarkan Kitab Perjanjian Lama, kedua agama semitik ini bisa belajar dari sosok Ibrahim yang sama-sama dirujuk dalam kitab suci Islam dan Kristen. Keimanan dan sikap beragama Ibrahim mampu menjadi contoh bersama bagi keduanya.
Dimulai dari keyakinan monoteismenya yang begitu teguh, Ibrahim berani membayar harga imannya tersebut kendati ia harus kehilangan nyawanya. Namun tidak hanya berhenti disana, Ibrahim mampu mengaplikasikan imannya dalam hidup kesehariannya. Hal-hal inilah yang harus terus-menerus diusahakan oleh masing-masing pemeluk Kristen dan Islam, ketimbang terjebak dalam konflik-konflik yang menimbulkan kerugian bagi kedua belah pihak.
*) Makalah ini disampaikan dalam acara konferensi pemuda/i Islam-Kristen di Lembang, Bandung yang diadakan oleh: Young Interfaith Peacemaker Community – Indonesia, 2015.
[1] Kisah kronologis kehidupan Ibrahim mulai awal panggilannya sampai akhir hayatnya bisa dibaca dalam Sefer Bereshit/Kejadian pasal 12-25. Arkeolog telah melacak tempat asal Ibrahim berdasarkan catatan Kitab Kejadian tersebut. Ur-Kasdim ddaerah Mesopotamia (Kis 7:2), demikian informasi Kitab Suci, ternyata cocok dengan temuan-temuan arkeologis. Misalnya nama-nama keluarga Ibrahim yang disebut dalam Alkitab: Terah, Nahor dan Serug, ternyata sesuai dengan nama-nama diri yang ditemukan di Tel Hariri, dekat sungai Efrat, wilayah kehidupan mula-mula Ibrahim sebelum menuju ke Tanah Kanaan. Untuk studi lebih lanjut lihat: Randall Price, The Stones Cry Out (Oregon: Harvest House Publishers, 1997), hal 94-96.
[2] Istilah Hanif berasal dari bahasa Suryani (Aram Kristen), hanfe. Kata yang baru muncul abad keempat ini mula-mula dipakai di lingkungan Kristen dalam makna: Bukan Kristen. Namun dalam Qur’an diberi makna baru: orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah (Wa ma kana min al-musyrikin). Untuk diskusi lebih jauh dari sudut pandang ilmu bahasa, lihat: Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of The Qur’an (Lahore: al-Biruni, 1977), hal 112-115.
[3] Al-Hawariyyun merupakan kata pinjaman dari bahasa Etiopia yang bermakna utusan/apostle. Term ini menunjuk pada murid-murid ‘Isa Almasih. Dalam Tafsir al-Qurthubi atas Qs. Ali Imran 3 ayat 52, disebutkan jumlah hawariyyun sebanyak dua belas orang (و الحواريون اصحاب عيسى عليه السلام ,و كانوا اثني عشر رجلا/wa al-hawariyyun ashab ‘Isa ‘alaihissalam, wa kanu itsna ‘asyaro rijal) Lihat: Tafsir al-Jami’ li ahkam al-Qur’an li Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abu Bakr Ibn Farh al-Anshari al-Khazraji al-Qurṭubi. Jilid II (Beirut: Dar al-Fikr, 2008), hal 64.
Untuk kajian bahasa dan teologis mengenai kata al-Hawariyyun, lihat: H.A.R. Gibb and J.H. Kramers (ed.), Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden-London: Luzac and CO., 1961), article “Hawari” (A.J. Wensinck), hal.137. Lihat juga: Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of The Qur’an (Lahore: al-Biruni, 1977), hal. 115-116.
[4] Di dalam Qur’an nama Yosua memang tidak disebut secara langsung. Tetapi sumber-sumber Islam yang ditulis oleh mufassir ataupun sejarawan Islam, menghubungkan beberapa ayat Qur’an dengan Yosua. Seperti misalnya dalam Qs. Al-Maidah 5 ayat 22-23, dalam kisah masuknya bangsa Israel ke Palestina sesuai dengan ketetapan Allah. Kisah Yosua dalam tradisi Islam bisa dibaca dalam hadits Bukhari, Muslim dan juga tulisan at-Tabari yang berjudul: Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk. Selain itu juga bisa dijumpai dalam tulisan Ibnu Katsir yang berjudul: Qishash al-Anbiya. Tulisan Ibnu Katsir tersebut banyak memuat kisah-kisah Yosua yang terekam dalam kitab Yosua walaupun ada perbedaan dalam detilnya. Namun sumber utamanya jelas berasal dari Kitab Tanakh.
[5] Dalam Agama Yahudi, Bereshit Rabbah yang sudah ada di abad keempat Masehi ini adalah salah satu dari banyak tulisan para rabbi Yahudi yang berupa tafsir atas Kitab Taurat. Di dalamnya berisi cerita rakyat, anekdot, nasehat-nasehat moral yang memang tidak memiliki landasan historis yang kuat. Karena yang dipentingkan adalah nilai moralnya dalam kisah yang diceritakan.
[6] Pembahasan sistematis mengenai syahadat Nikea dalam bahasa Arab bisa dibaca dalam: Al-Qamash ‘Abd al-Masih Tsaufilus, Syarh wa Tafsir Qanun al-Iman (Cairo: Al-Qamash ‘Abd al-Masih, 2007). Syahadat Nikea merupakan pernyataan bersama gereja-gereja di seluruh dunia berdasarkan teks-teks Kitab Suci sendiri sebagai reaksi atas ajaran Arius tentang kemakhlukan Kalimatullah. Arius mengajarkan bahwa pernah ada waktu dimana Firman Allah/Kalimatullah belum ada. Gereja menolak tegas ajaran ini, sebab secara logis maupun berdasarkan nas-nas Alkitab sendiri, Kalimatullah kekal dan bukan ciptaan (ghayr al-makhluk). Menariknya, posisi gereja yang mempertahankan kekekalan Kalimatullah sama dengan posisi Ahlussunnah yang juga mempertahankan kekadiman al-Qur’an sebagai Kalamullah sebagai reaksi atas ajaran Mu’tazilah waktu itu.
[7]Kitab al-‘ahd al-jadid li ar-Rabbina wa Mukhallishona Yasu’ al-Masih: Tarjamah al-‘arabiyyah min al-lughat al-ashliyyah (Beirut: Dar al-Kitab al-Muqaddas fi al-Syarq al-Ausath, 1993)
[8] Yesaya adalah seorang nabi yang hidup sekitar abad 8 seb Masehi. Dalam tradisi Islam, kisah Nabi Yesaya bisa dijumpai dalam Kitab Qishash al-Anbiya, karya Ibn Katsir.
[9] Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an lil Imam Ibn Jarir Ath-Thabari. Jilid II (Beirut: Dar al-Fikr, 2009), hal. 402.
Salam Kasih Dalam Kristus
-ZoeLife-
Jesusprophet
Kredo 1:Mereka=subjek,mengenal=predikat,Engkau satu satunya Allah yang benar=objek+keterangan ...
View ArticleDenis
???? ????? Yeshua haMashiach Yeshua sang Mesias ?? ????? Ben Elohim Putra Elohim ?? ...
View ArticleSony
shalom..Mohon berkenan kami dikirimi artikel via email kami, Trimakasih Tuhan ...
View Article